"Demokrasi di Barat dan negara maju dipaksa untuk diterapkan di Indonesia yang baru merasakan euforia kebebasan. Akibatnya, muncul sejumlah kebijakan negara, baik dalam produk undang-undang maupun instrumen lain yang justru melemahkan posisi negara. Ini membuat negara mengalami kehilangan kontrol yang terukur dalam mengendalikan ekses reformasi itu sendiri, " jelasnya.
Raya menjelaskan, menjamurnya lembaga-lembaga negara, baik yang sifatnya ad hoc maupun permanen, pasca-reformasi, justru gagal dalam mengelola persoalan bangsa. Yang terjadi justru muncul saling sandera, ego sektoral dan kompetisi tidak sehat antar-lembaga negara yang membuat kegaduhan publik.
"Konflik kepentingan dan ego sektoral atas nama konstitusi dan undang-undang justru membuat hiruk pikuk dan kebisingan di tengah-tengah publik. Ironisnya itu terjadi di antara lembaga-lembaga yang merupakan produk reformasi dengan lembaga yang sudah ada sebelumnya," jelas Raya.
Ego sektoral dan saling sandera lembaga-lembaga negara ini, lanjut Raya bukannya membuat masalah-masalah publik bisa ditangani secara cepat, namun terus menguras energi dan biaya besar, tanpa ada jaminan penyelesaian masalah yang memadai.
"Negara harus menanggung dampak, menguras energi dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai keberadaan lembaga-lembaga tersebut. Di sisi lain, lembaga-lembaga tersebut justru tidak optimal dalam melakukan tugasnya, namun sebaliknya menimbulkan keriuhan dan kegaduhan publik," jelas Raya.
Di sisi lain, otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi justru makin kehilangan arah dan manfaatnya. Otonomi daerah dimaknai sebagai transfer kekuasaan negara, sehingga oleh pelaku otonomi daerah, yakni elit-elit daerah menjadi kuda tunggangan untuk memperluas kekuasaannya secara tak terkendali.
"Kami menilai otonomi daerah yang kian liar telah menjadi kuda tunggangan yang makin membabi-buta dalam segala tindakan elit-elit daerah. Otonomi daerah belum mampu memberi jawaban adanya pelayanan publik yang memuaskan bagi masyarakat di daerah. Apalagi kalau dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat di akar rumput," jelas Raya.
Pada sisi lain, atas nama otonomi daerah, para elit dan pemegang kekuasaan di daerah kerap tak menghiraukan kebijakan nasional. Elit daerah semakin sulit untuk diatur dan bertindak kian tak terukur.
"Kita bisa lihat tingkat keberhasilan daerah dalam mengelola otonomi daerah. Pemekaran daerah otonom yang begitu massif, justru membuat terjadi kesenjangan antar-daerah, kemiskinan belum terjawab dan layanan publik belum memadai," jelas Raya.