Ia menerangkan, otonomi daerah telah menciptakan suasana terjadinya fragmentasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Fragmentasi kekuasaan ini membuat pemerintah pusat kesulitan untuk menciptakan kesatuan visi pembangunan negara dan bangsa.
"Fragmentasi kekuasaan antara pusat dan daerah sebagai dampak otonomi daerah ini, makin parah akibat adanya perbedaan warna dan afiliasi politik antara pemerintah pusat dan elit daerah. Kepentingan dan warna politik elit daerah menjadi penghalang instrumen kebijakan pusat ke daerah. Otonomi daerah pun berjalan makin liar dan tak terkendali," jelas Raya.
Oleh sebab itu, RJCI mendorong pemerintahan Presiden Jokowi untuk mereview ulang keberadaan lembaga-lembaga negara bentukan reformasi. Momen saat ini dinilai tepat agar "keterlanjuran" yang diwariskan oleh rezim sebelumnya tidak berlanjut dan situasi makin parah.
"Peninjauan ulang dalam bentuk pembubaran dan penyatuan lembaga-lembaga negara tersebut penting untuk segera dilakukan. Termasuk meninjau ulang kewenangan lembaga-lembaga tersebut agar tidak kontraproduktif dengan kekuatan negara dalam mengatasi masalah-masalah publik, apalagi dalam tantangan global yang kompetitif saat ini," jelas Raya.
Soal otonomi daerah, RJCI meminta agar pemerintah pusat melakukan pengelolaan yang lebih terintegrasi dan terkontrol. Sehingga keberadaan otonomi daerah bisa makin "dijinakkan" dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah.
"Pemerintah pusat perlu menerbitkan instrumen yang tegas agar otonomi daerah yang liar saat ini bisa dikelola dengan baik," pungkas Raya.