Nama Ketua Hanura OSO Dicoret, KPU Abaikan Surat dari Istana

/ Sabtu, 06 April 2019 / 07.57 WIB
Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) dan Yusril Ihza Mahendra memberi keterangan pers.(Liputan6.com/Johan Tallo)

SUARAAKTUAL.CO, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan akan mengabaikan surat yang dikirim pihak Istana terkait permintaan agar KPU mengikuti putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memasukkan Ketua Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) dalam daftar calon tetap Pemilu 2019. Surat bernomor R 49/M.Sesneg/D-1/HK 06.02/3/2019 tersebut dikirim pada 22 Maret lalu oleh menteri sekretaris negara menindaklanjuti permintaan PTUN Jakarta.

Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari menegaskan nama OSO tetap tidak ada dalam surat suara pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2019. Dalam hal ini KPU berpandangan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menjadi rujukan dalam persoalan pencalonan OSO sebagai calon anggota DPD.

"Nama OSO tidak ada dalam surat suara. Persoalannya bukan soal cetak-mencetak, masalahnya adalah keputusan MK bahwa pengurus parpol dilarang menjadi anggota DPD," ujar Hasyim, seperti dilansir dari republika.co.id, Jumat (5/4) kemarin.

Hasyim juga menegaskan, pihaknya tidak ingin melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. "Jadi, KPU menjalankan putusan MK, tidak ada yang lain-lain. Keputusan MK juga melarang memasukkan nama OSO ke dalam daftar calon tetap pemilu," tegasnya.

Disebutkan Hasyim, dalam hal ini KPU tidak menolak surat presiden dan mensesneg. Katanya, surat dari mensesneg bukan merupakan arahan, hanya meneruskan informasi dari ketua PTUN Jakarta. Surat itu pun tidak dianggap sebagai intervensi lewat presiden.

Sementara, Komisioner KPU lainnya, Wahyu Setiawan mengatakan, KPU sudah bersepakat tetap mengikuti putusan awal, yakni putusan MK. "KPU tetap mengikuti putusan awal. Mengikuti putusan MK," kata Wahyu.

Sebagaimana putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, ketua umum parpol dilarang mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Jika ingin ditetapkan sebagai calon, yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari partai politik.

"Mestinya OSO mematuhi putusan MK. Namun, OSO tetap tidak bersedia mengundurkan diri sebagai pengurus Partai Hanura, meskipun KPU sudah memberi tambahan waktu," tukasnya.

Sementara, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengungkapkan, sebelum surat dari Istana dilayangkan kepada KPU, ketua PTUN Jakarta telah lebih dulu berkirim surat kepada Presiden Jokowi. PTUN Jakarta meminta Presiden memerintahkan KPU melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Dia juga membantah Istana Kepresidenan bermaksud mengintervensi keputusan KPU terkait kasus OSO. Ia menyebutkan, Presiden menghormati KPU sebagai lembaga independen. Hasil akhir dari kasus OSO ini sepenuhnya diserahkan kepada KPU.

"Sama sekali tidak (intervensi). Ini adalah satu, dari awal jelas, kami hormati independensi KPU. Selama ini juga begitu. Keputusan ini wilayah KPU makanya dalam surat disebut sesuai peraturan perundangan," ujarnya.

Terkait surat balasan dari KPU, Pratikno mengaku belum membacanya. Ia mengatakan segera mengkaji isi surat balasan tersebut. Namun, pada prinsipnya, ujar Pratikno, keputusan soal OSO adalah sepenuhnya kewenangan KPU.

"Dalam surat yang ditandatangani mensesneg itu, juga disebutkan bahwa silakan KPU tindak lanjuti sesuai peraturan perundang-undangan. Jadi itu. Bagaimana surat yang sudah banyak beredar," kata Pratikno.

Sebelumnya, Ketua Kamar Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Supandi menilai, KPU telah melanggar perintah jabatan dan melanggar aturan ketika tidak menjalankan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. MA menilai KPU sebagai organ negara wajib hukumnya menaati putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Senang atau tidak senang, itu (putusan PTUN soal OSO) hukum dan wajib dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, melawan perintah jabatan dan kualifikasi perbuatan melawan hukum," ujar Supandi, di gedung MA, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat.

Menurut Supandi, KPU sebagai organ negara harus mengambil keputusan berdasarkan aturan yang berlaku, termasuk putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Meskipun putusan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Ia menegaskan, kalau ada pejabat yang sudah diputus pengadilan, tetapi tidak mau melaksanakan putusan tersebut, pejabat dalam posisi melakukan perbuatan melanggar hukum.(*)

Related Posts:

Komentar Anda

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p