Kondisi terbalik juga bisa terjadi pada pasar minyak nabati, sering disebut sebagai siklus 10 tahunan, produksi minyak nabati bisa juga berlebih hingga mendekati permintaan ditahun berjalan. Seperti yang terjadi ditahun 2018 lalu, dimana keberadaan produksi minyak nabati termasuk minyak sawit, yang produksi nya berlimpah, sehingga menyebabkan harga komoditas turun.
Bagi pelaku usaha minyak sawit, kondisi tahun 2018 lalu, sebenarnya sudah diantisipasi sejak jauh-jauh hari. Namun, kerugian besar akibat menurunnya harga komoditas, memang dirasakan para pedagang, terlebih pedagang besar. Pasalnya, harga menurun hampir terjadi setiap saat, sedangkan posisi pembelian produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, mengikuti kesepakatan yang sudah dibuat sebelumnya.
Alhasil, kerugian berlipat ganda, telah melanda para pedagang besar, dimana selisih harga beli dan harga jual menjadi kerugian yang berlipat ganda. Semisal, dikala pembelian harga CPO sebesar US$ 600/ton, sementara harga jual hanya sebesar US$ 580/ton. Adanya selisih kerugian sebesar –US$ 20/ton dikalikan besaran tonase yang dijual.
Harga jual CPO yang tergerus, secara drastis langsung diturunkan hingga kepada harga jual Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan petani. Akibatnya, harga jual TBS terjungkal, hingga tak mampu berkutik lagi. Ketidakberdayaan petani, menjadi persoalan berikutnya, lantaran tak ada regulasi pemerintah yang mampu menjamin harga jual minimal hasil TBS petani.
Sebab itu, kejatuhan harga jual TBS di tingkatan petani, seharusnya mendapatkan perlindungan serentak dari regulasi Pemerintah Indonesia, supaya tidak menurun terus. Di sisi lain, regulasi pemerintah juga harus melindungi harga jual CPO ex pabrik, supaya harga jual CPO yang diproduksi Pabrik Kelapa Sawit (PKS), mampu membendung kejatuhan harga CPO di pasar internasional.
sumber: InfoSAWIT