Presiden Forum Kebebasan dan Kewarganegaraan Tunisia, Fathi Al-Zghal mengonfirmasi mengenai aksi demonstrasi tersebut, mengatakan bahwa aksi itu muncul secara spontan dan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan para perempuan Tunisia yang khawatir akan lajang sampai tua.
Poligami dinyatakan sebagai pelanggaran hukum berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Status Pribadi Tunisia.
Dilansir Middle East Online, Sabtu (2/2/2019), Al Zghal mengatakan bahwa dia juga mendesak dilakukan pengkajian ulang atas semua pasal dalam Undang-Undang Status Pribadi, seperangkat hukum yang menetapkan hak dan kebebasan perempuan di Tunisia, tidak hanya pasal mengenai poligami. Pasal-pasal tersebut termasuk pasal mengenai prosedur perceraian dan penghapusan status-status adopsi, karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam pernyataan yang disampaikan sebelumnya, dia menekankan bahwa para wanita akan berpartisipasi dalam demonstrasi untuk mengekspresikan kemarahan mereka atas kegagalan Tunisia untuk mengizinkan poligami. Dia menambahkan bahwa "protes itu tidak terkait dengan entitas politik dan tidak dipimpin oleh asosiasi apa pun".
Menurut laporan terbaru yang diterbitkan oleh Kantor Nasional untuk Keluarga dan Penduduk pada Desember 2017, Tunisia adalah salah satu negara dengan tingkat keengganan untuk menikah tertinggi, dengan angka 60 persen - jauh lebih tinggi daripada rasio negara Arab lainnya.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa jumlah perempuan lajang telah meningkat menjadi lebih dari 2,25 juta, dari total 4,9 juta perempuan di negara ini. Angka itu telah meningkat dari hanya 990.000 pada 1994, dengan usia kehamilan tertinggi di antara wanita usia 25-34.
sumber: okezone