Perang Dagang Trump Bisa Picu Great Depression Jilid 2?

/ Senin, 09 Juli 2018 / 11.39 WIB
Foto: Infografis, Arie Pratama
Ekonomi, SUARAaktual.co -
Apa efek perang dagang terhadap ekonomi dunia? Mengacu pada rekam jejak sejarah, jawabannya hanya satu: memperparah krisis dunia menjadi depresi berkepanjangan.

Bayangkan seseorang muncul di sebuah desa yang sedang paceklik, lalu membuat aturan dan organisasi baru untuk mensejahterakan semua orang. Setelah sukses, kini orang yang sama membuang aturan dan organisasi yang dibuatnya demi menyelamatkan anaknya.

Itulah yang sekarang terjadi di percaturan dunia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif bagi produk-produk mitra perdagangannya mulai dari China, Uni Eropa, hingga (sebentar lagi) Indonesia. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kebijakan serupa justru memperparah kebangkrutan dunia.


Kita tentu mengenal istilah great depression (depresi akbar) yang menjangkiti dunia pada era 1930-an. Setelah perang dunia 1 berakhir pada tahun 1918, Eropa dan AS mencatatkan investasi besar-besaran yang memicu kenaikan uang beredar dan inflasi 1 dekade kemudian.

Di pasar modal AS, investasi besar-besaran di sektor riil itu berakhir menjadi spekulasi akibat transaksi margin yang tak dibarengi aturan ketat. Transaksi margin memungkinkan investor membeli saham dengan meminjam dana perusahaan sekuritas.

Ini terjadi sejak 1928, ketika harga-harga saham bisa melonjak hingga tiga kali dari nilai bukunya meski emiten yang bersangkutan kinerjanya biasa-biasa saja.

Di tengah inflasi tinggi dan badai spekulasi di pasar modal tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/ The Fed) mendongkrak bunga acuan dari 4% di pertengahan tahun 1928 menjadi 6% pada 1929.

Asumsinya, warga AS bakal tergiur menabung ketimbang berbelanja atau berspekulasi di pasar modal. Sekali tepuk, dua problem (inflasi tinggi dan spekulasi ) teratasi, demikian kurang lebih harapannya.

Namun yang tidak diperhitungkan, kenaikan Fed Fund Rate juga memicu naiknya bunga acuan negara lain, mengingat sistem moneter saat itu berstandar emas dengan sistem fixed (tetap)-di mana US$1 dipatok setara dengan 0,73 gram emas.

Negara lain terpaksa harus menaikkan suku bunga acuannya agar tak terjadi pelarian emas di negaranya ke AS yang bisa mengurangi pasokan uang beredarnya. Pada gilirannya, suku bunga tinggi di AS dan negara-negara mitranya berujung pada perlambatan ekonomi berjamaah.

Lalu, riak-riak perlambatan itu membuat kinerja emiten bursa tertekan sehingga pecahlah gelembung pasar modal AS. Puncaknya, Dow Jones anjlok 12% dalam sehari pada 29 Oktober 1929 yang dikenal sebagai Selasa Petaka (Black Tuesday).

Kerugian investor di Wall Street itu selanjutnya memberi pukulan tambahan ke sektor riil AS, dengan pelemahan konsumsi masyarakat sebesar 10%, terutama ketika kemarau panjang melanda sentral pertanian di Great Pain yang saat itu menjadi salah satu sumber mata pencaharian penting warga AS.

Insentif (terutama untuk membantu petani) dirilis dan The Fed menurunkan bunga acuannya dari 6%. Suku bunga rendah diharapkan memacu swasta berinvestasi. Namun, semuanya terlambat. Ekonomi AS mengalami resesi dengan kontraksi -8,5% (1930), angka pengangguran tembus 9% dan 1.350 bank dinyatakan 'gagal'.

Lalu, muncullah kebijakan pintas demi "menyelamatkan AS", yakni proteksionisme yang mengejawantah dalam bentuk perang dagang pada 1930. Alih-alih menjadi penyelamat, kebijakan ini justru melempar AS ke jurang depresi karena ekonominya anjlok melewati -10%, tepatnya sebesar -12,9% (1932).

Sumber : CNBC Indonesia

Related Posts:

Komentar Anda

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p